Selasa, 22 Februari 2011

TUGAS SOFTSKILL-HUMAN RIGHTS

    PENJELASAN TUJUAN HUMAN RIGHTS WATCH
Human Right Watch dibentuk dengan tujuan membela dan melindungi hak asasi manusia. Hal ini dimaksudkan untuk menarik perhatian dunia internasional terhadap tejadinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di mana saja dan mendorong negara-negara dan organisasi-organisasi internasional agar menghentikan atau menolong menghentikan pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Kemudian para peneliti Human Right Watch melakukan misi pencarian fakta untuk melakukan investigasi terhadap keadaan-keadaan yang mencurigakan dan memberikan liputan dalam media lolak maupun internasional. Masalah-masalah yang diangkat oleh Human Rights Watch dalam laporan-laporannya termasuk antara lain adalah: Mendorong negara dan organisasi internasional agar menghentikan pelanggaran seperti: diskriminasi sosial (rasisme, Apartheid, White Policy, racialized politics), penyiksaan, teror, genosida, penggunaan anak sebagai militia, korupsi politik, dll)
Namun sayangnya, terkadang Human Right Watch, terlalu jauh dalam mengintervensi suatu negara karena saking inginnya menegakkan hak asasi manusia. Contohnya di Indonesia adalah Human Rights Watch melakukan tekanan terhadap pemerintah Indonesia, di mana organisasi internasional itu menekan pemerintah, khususnya kepada Presiden SBY untuk membatalkan undang-undang ‘qanun’ yang telah berlaku di Aceh. Tindakan ini merupakan bentuk campur tangan yang tidak dapat diterima.
Hal ini karena, lahirnya ‘Qanun’ yang sekarang diterapkan di Aceh, telah memiliki landasan yang kuat, yaitu Undang-Undang No.18/Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Aceh, dan telah disyahkan DPR-RI, yang mengatur kehidupan di Aceh.
Tetapi menurut Human Rights Watch,  Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh  justru melanggar hak asasi manusia. Qanun di Aceh mendiskriminasi perempuan dan membuka peluang terjadinya kekerasan massal dengan dalih menegakkan syariat Islam. Laporan yang disusun oleh Christen Broecker, peneliti Divisi Asia Human Rights Watch, menyoroti Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum) dan Qanun Nomor 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam dalam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
Christen Broecker dalam laporannya juga menyertakan beberapa kasus kekerasan oleh masyarakat akibat pemberlakuan aturan ini. Berdalih menegakkan syariat Islam, masyarakat dapat “menghukum” orang yang diduga melakukan pelanggaran.
Laporan ini disusun melalui penelitian di Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe, Langsa, dan Meulaboh, bulan April dan Mei 2010. Human Rights Watch juga mewawancarai lebih dari 80 orang, termasuk 11 perempuan dan seorang perempuan transjender yang menjadi korban penerapan Qonun Syariah di Aceh.
Menurut masyarakat Aceh, sebenarnya diberlakukan Qanun Syariah itu, justru di Aceh sekarang telah lebih baik kondisinya, dan semakin aman, serta kehidupan moral masyarakat menjadi terjaga. Tuntutan Human Rights Watch itu justru akan menciptakan kekacauan yang mengarah kepada kehancuran kehidupan di Aceh, karena dengan melonggarkan kehidupan, dan dibiarkannya kehidupan yang bebas. Maka Aceh akan seperti daerah-daerah lainnya.
Sejak pertama Republik Indonesia merdeka, Aceh telah menerapkan otonomi khusus, yaitu adanya syariah Islam, seperti yang menjadi aspirasi rakyat Aceh. Ini merupakan bentuk ‘obligasi’ (perjanjian) antara pemerintah pusat yang pada saat itu dipimpin Presiden Soekarno dengan para pemimpin Aceh. Kemudian, dilanjutkan di zaman Reformasi dengan dituangkan undang-undang otonomi khusus, yaitu UU No 18/2009 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar