Selasa, 22 Februari 2011

TULISAN SOFTSKILL-IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA

Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia
Ideologi yang dianut oleh suatu negara pada dasarnya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di negara tersebut, termasuk penerapan hak-hak asasi masyarakatnya. Negara-negara Barat, seperti Amerika, dengan paham Liberalismenya memungkinkan masyarakatnya untuk melakukan segala sesuatu dengan sebebas-bebasnya (peran swasta lebih dominan), sedangkan peran pemerintah sangat kecil dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut berdampak pada kondisi kehidupan masyarakatnya yang “kebablasan” pada beberapa sisi, seperti pergaulan bebas, persaingan bebas, dan sebagainya yang banyak menimbulkan masalah-masalah baru bagi sebagian masyarakat. Imbas lainnya dari paham Liberalisme adalah terhimpitnya kaum ekonomi lemah karena para pemilik modal (kaum kapitalis) memiliki kebebasan dalam melakukan investasi di berbagai sektor usaha. Paham lainnya yang berkembang di negara-negara Timur (seperti di Uni Soviet dan RRC pada masa lalu) adalah komunisme. Dampak yang ditimbulkan oleh ideologi tersebut adalah berkebalikkan dengan apa yang ditimbulkan oleh Liberalisme. Hak-hak masyarakat diakui, namun tidak sepenuhnya dipedulikan oleh pemerintah. Peran pemerintah sangat dominan dalam mengatur berbagai aspek kehidupan. Pada praktik kehidupan bernegara, pemerintah bersikap otoriter dan tidak peduli terhadap aspirasi rakyat. Hal tersebut berdampak pada pembungkaman suara rakyat dan pers, sehingga mencukur demokrasi yang seharusnya menjadi hak rakyat.

Berdasarkan sejarah yang pernah terjadi di negara-negara Barat dan Timur, maka jelas bahwa masyarakat akan mengalami dampak negatif jika hak-hak asasi setiap individu dibebaskan tanpa batas, namun masyarakat juga akan mengalami dampak negatif jika hak-hak asasi setiap individu terlalu dikekang. Berbeda dengan negara-negara tersebut, Indonesia menganut ideologi Demokrasi Pancasila, sehingga implementasi hak asasi manusia di Indonesia seharusnya berjalan dengan baik sesuai dengan sifat-sifat dasar dari paham Demokrasi Pancasila. Menurut ideologi tersebut, hak-hak asasi setiap rakyat Indonesia pada dasarnya diimplementasikan secara bebas, namun tetap dibatasi oleh hak-hak asasi orang lain. Jadi, ideologi ini menawarkan kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan hak asasi manusia. Namun hal tersebut perlu dikaji lebih dalam, sebab ideologi yang dianut oleh negara Indonesia tercinta ini belum tentu dapat diterapkan oleh rakyat tersebut dengan benar sepenuhnya.

Sejak era reformasi berbagai produk hukum dilahirkan untuk memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak sipil dan politik. Antara lain, Pancasila (sila ke-2), UUD 1945 pasal 28A sampai pasal 28J, Ketetapan MPR Nomor XVII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Otonomi Daerah, UU ratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan UU ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial.

Dari sisi politik, selama kurang lebih 12 tahun terakhir ini, rakyat Indonesia telah menikmati kebebasan politik yang luas. Empat kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan, yang vital bagi bekerjanya sistem politik dan pemerintahan demokratis telah dinikmati oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

TUGAS SOFTSKILL-HUMAN RIGHTS

    PENJELASAN TUJUAN HUMAN RIGHTS WATCH
Human Right Watch dibentuk dengan tujuan membela dan melindungi hak asasi manusia. Hal ini dimaksudkan untuk menarik perhatian dunia internasional terhadap tejadinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di mana saja dan mendorong negara-negara dan organisasi-organisasi internasional agar menghentikan atau menolong menghentikan pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Kemudian para peneliti Human Right Watch melakukan misi pencarian fakta untuk melakukan investigasi terhadap keadaan-keadaan yang mencurigakan dan memberikan liputan dalam media lolak maupun internasional. Masalah-masalah yang diangkat oleh Human Rights Watch dalam laporan-laporannya termasuk antara lain adalah: Mendorong negara dan organisasi internasional agar menghentikan pelanggaran seperti: diskriminasi sosial (rasisme, Apartheid, White Policy, racialized politics), penyiksaan, teror, genosida, penggunaan anak sebagai militia, korupsi politik, dll)
Namun sayangnya, terkadang Human Right Watch, terlalu jauh dalam mengintervensi suatu negara karena saking inginnya menegakkan hak asasi manusia. Contohnya di Indonesia adalah Human Rights Watch melakukan tekanan terhadap pemerintah Indonesia, di mana organisasi internasional itu menekan pemerintah, khususnya kepada Presiden SBY untuk membatalkan undang-undang ‘qanun’ yang telah berlaku di Aceh. Tindakan ini merupakan bentuk campur tangan yang tidak dapat diterima.
Hal ini karena, lahirnya ‘Qanun’ yang sekarang diterapkan di Aceh, telah memiliki landasan yang kuat, yaitu Undang-Undang No.18/Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Aceh, dan telah disyahkan DPR-RI, yang mengatur kehidupan di Aceh.
Tetapi menurut Human Rights Watch,  Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh  justru melanggar hak asasi manusia. Qanun di Aceh mendiskriminasi perempuan dan membuka peluang terjadinya kekerasan massal dengan dalih menegakkan syariat Islam. Laporan yang disusun oleh Christen Broecker, peneliti Divisi Asia Human Rights Watch, menyoroti Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum) dan Qanun Nomor 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam dalam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
Christen Broecker dalam laporannya juga menyertakan beberapa kasus kekerasan oleh masyarakat akibat pemberlakuan aturan ini. Berdalih menegakkan syariat Islam, masyarakat dapat “menghukum” orang yang diduga melakukan pelanggaran.
Laporan ini disusun melalui penelitian di Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe, Langsa, dan Meulaboh, bulan April dan Mei 2010. Human Rights Watch juga mewawancarai lebih dari 80 orang, termasuk 11 perempuan dan seorang perempuan transjender yang menjadi korban penerapan Qonun Syariah di Aceh.
Menurut masyarakat Aceh, sebenarnya diberlakukan Qanun Syariah itu, justru di Aceh sekarang telah lebih baik kondisinya, dan semakin aman, serta kehidupan moral masyarakat menjadi terjaga. Tuntutan Human Rights Watch itu justru akan menciptakan kekacauan yang mengarah kepada kehancuran kehidupan di Aceh, karena dengan melonggarkan kehidupan, dan dibiarkannya kehidupan yang bebas. Maka Aceh akan seperti daerah-daerah lainnya.
Sejak pertama Republik Indonesia merdeka, Aceh telah menerapkan otonomi khusus, yaitu adanya syariah Islam, seperti yang menjadi aspirasi rakyat Aceh. Ini merupakan bentuk ‘obligasi’ (perjanjian) antara pemerintah pusat yang pada saat itu dipimpin Presiden Soekarno dengan para pemimpin Aceh. Kemudian, dilanjutkan di zaman Reformasi dengan dituangkan undang-undang otonomi khusus, yaitu UU No 18/2009